Sejak
berkeluarga dan tinggal di Bogor aku selalu sempatkan pulang mudik
menengok orang tua dan mertuaku di Yogyakarta setiap hari raya Idul
Fitri. Biasanya kami mudik seminggu sebelum hari rayanya, agar kami bisa
puas merayakan lebaran di sana. Aku mudik seringnya dengan mobil
sendiri. Cerita Sex Dewasa ini
terjadi berawal Saat anak-anakku masih kecil aku sendiri yang menyetir
hingga sampai ke rumah orang tua kami. Saat anakku beranjak besar dan
remaja, gantian merekalah yang bawa mobil.
paling senang lewat jalur selatan yang tidak
begitu ramai dan jarang ada kemacetan. Hal yang paling kusukai adalah
saat aku melewati desa Redjo Legi menjelang masuk ke kota Purworejo. Di
situ tinggal pamanku, biasa kupanggil dengan Pak Lik. Dia adalah adik
sepupu bapakku. Aku sangat akrab dengannya karena anak Pak Lik yang
paling tua, pernah kuliah di kotaku dan tinggal di rumah orang tuaku.
Kalau
hari libur semesteran, aku sering diajaknya pulang ke Redjo Legi untuk
mencari belut. Depan halaman rumahnya yang hingga kini merupakan sawah
yang terbentang luas, menyediakan banyak belut untuk kami tangkap dan
kami goreng. Nostalgia macam itulah yang membuatku selalu menyempatkan
diri, mampir ke rumah Pak Lik setiap kali aku pulang mudik.
Tidak
ada yang begitu berubah di rumah Pak Lik sejak dulu. Rumahnya yang
berdinding gedek kulit bambu itu terasa sangat nyaman. Bagusnya dinding
gedek macam itu adalah fungsi sirkulasi udaranya yang sangat bagus,
disebabkan gedeknya bercelah-celah, karena jalinan bambunya yang tidak
mungkin bisa rapat benar. Kemudian di pagi hari, sinar matahari akan
menembus celah-celah gedek itu, sehingga panasnya cukup untuk
membangunkan kami, yang tentunya masih bermalas-malasan di amben. Suatu
istilah setempat untuk balai-balai tempat tidur, yang terbuat dari
bambu. Hanya saja rumah itu sekarang terasa lebih lega disebabkan
renovasi yang dilakukan Pak Lik beserta istri.
Pak
Lik sendiri walaupun saat ini usianya sudah lebih dari 50 tahun,
tepatnya 54 tahun, 10 tahun di atas umurku dan 18 tahun di atas umur
istriku, sosoknya masih gagah dan sehat. Tubuhnya yang 180 senti itu
tampak tegap, kekar dan berisi. Khas tubuh seorang petani dan guru bela
diri.
Empat
tahun yang lalu Bu Lik meninggal dunia karena sakit sehingga kini Pak
Lik menjadi duda. Untuk menopang kegiatannya sehari-hari, Pak Lik
dibantu pelayan kecil dari kampungnya untuk mencuci pakaiannya dan masak
ala kadarnya. Apabila sudah tidak ada lagi yang dikerjakannya, dia
pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari rumah Pak Lik. Kedua anaknya
sendiri sudah bekerja di lain kota, dan mereka baru pulang kalau lebaran
tiba. Sama seperti tradisi di keluargaku umumnya. Akhirnya Pak Lik
menjadi terbiasa hidup sendirian.
Sanak
saudaranya yang lain termasuk aku, sering menyarankannya untuk kawin
lagi. Agar ada perempuan yang membuatkannya kopi di pagi hari atau
menjadi pasangannya saat bertandang ke acara keluarga. Namun sampai saat
ini Pak Lik masih belum juga menemukan jodohnya yang sesuai. Walaupun
pendidikannya cukup tinggi, waktu itu sudah menyandang titel BA atau
sarjana muda, kegiatannya sehari-hari adalah bertani dan mengajari seni
bela diri kepada anak-anak tetangganya. Dalam hal bertani, dia menggarap
sendiri sawahnya yang cukup luas ini.
Tahun
ini aku dan istriku terpaksa pulang mudik berdua saja. Anak-anakku
punya acara sendiri bersama teman-temannya yang susah aku pengaruhi
untuk ikut menemani kami. Ya, sudah. Aku tidak suka memaksa mereka.
Ketiganya sedang beranjak dewasa dan harus bisa belajar mengambil
keputusan sendiri.
Menjelang
masuk kota Kroya jam menunjukkan pukul 2 siang saat aku merasa agak
demam. Tubuhku melemah dan kepalaku mulai terasa pusing. Sambil berpesan
agar menyupirnya tidak usah buru-buru, istriku memberi obat berupa
puyer anti masuk angin yang selalu dia bawa saat bepergian jauh. Sesudah
aku meminumnya, rasa tubuhku agak lumayan dan pusingku sedikit
berkurang. Tetapi tetap saja tidak senyaman kalau tubuh sedang
benar-benar sehat. Menjelang masuk gerbang desa Redjo Legi menuju
rumahnya Pak Lik, aku merasakan sakitku tak tertahankan lagi. Kupaksakan
terus jalan pelan-pelan hingga tepat jam 5 sore, mobilku memasuki
halaman rumah Pak Lik yang seperti biasanya, menyambut kami dengan
sepenuh kehangatan.
Ketika
dia tahu aku sakit, dia panggil embok-embok di kampungnya yang biasa
mijit dan kerokan. Suatu kebiasaan orang Jawa kalau sakit, tubuhnya
dikerok dengan mata uang logam untuk mengeluarkan anginnya. Ketika
sakitku tidak juga berkurang, dengan ditemani istriku, Pak Lik
mengantarkanku pergi ke dokter yang tidak jauh dari rumahnya. Dalam
perjalanan ke sana, tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Tak urung
tubuh kami bertiga pun menjadi basah. Untungnya jarak kami dengan klinik
dokter itu sudah dekat, sehingga kami bisa cepat berteduh di sana.
Tanpa khawatir pakaian kami menjadi basah kuyup karenanya.
Dari
dokter itu, aku diberi obat dan disuruh banyak istirahat. Selesai
berobat, ternyata hujan masih tetap deras di luar sana. Agak lama
menunggu, Pak Lik menjadi tak sabar. Dia berinisiatif untuk pulang
duluan, bermaksud menjemput kami dengan mobilku. Aku dan istriku kompak
keberatan dengan rencananya itu. Meskipun klinik sang dokter tidak
begitu jauh dari rumah Pak Lik, sekitar 5 kiloan, kami merasa sangat
tidak enak hati. Kami merasa telah banyak merepotkannya sejak kedatangan
kami tadi. Pak Lik yang baik hati itu tetap bersikeras, hingga akhirnya
kami mengalah.
Aku
memperhatikan kepergiannya dengan perasaan khawatir bercampur kagum.
Perasaan khawatir muncul karena aku tidak ingin paman kesayanganku itu
jatuh sakit karena hujan-hujanan. Sedangkan kekagumanku timbul melihat
sosoknya saat ini. Kemeja kausnya yang basah kuyup oleh air hujan,
membuat tubuhnya yang atletis itu tercetak jelas. Ketika pandanganku
menoleh ke samping, aku bisa melihat pancaran kekaguman yang sama
tersiar dari wajah istriku. Dik Narti segera mengubah arah pandangannya
begitu tahu aku memperhatikannya.
Dalam
perjalanan pulang, tak sengaja aku melirik ke arah istriku.
Kuperhatikan wanita itu tak lepas-lepasnya mengagumi Pak Lik secara
diam-diam. Apalagi saat menjemput kami, Pak Lik hanya mengenakan kaus
singlet tipis dan celana jeans biru ketat. Seakan-akan dia ingin
memamerkan ketiaknya yang berbulu lebat, dan tubuhnya yang terpahat
sempurna. Seketika itu juga aku merasa cemburu dan tidak nyaman dengan
tingkah istriku itu....
Sepulangnya
dari dokter, lagi-lagi Pak Lik membuatku takjub atas kebaikan hatinya.
Dibantu istriku, Pak Lik merepotkan dirinya dengan menyediakan makan
malam untuk kami bertiga. Waktu makan malam itu kami pakai untuk
mengobrol dan bersenda gurau penuh keakraban, melepas kerinduan. Ketika
kami menanyakan di mana anak-anaknya, dengan senyuman ramahnya yang
khas, Pak Lik menjawab bahwa keduanya masih memiliki kesibukan di
kotanya masing-masing. Kesibukan itulah yang membuat mereka tidak bisa
pulang mudik tahun ini. Seusai makan malam, istriku menyuruhku meminum
obat. Tak lama aku langsung diserang kantuk yang luar biasa. Rupanya
dokter telah memberikan obat tidur padaku bersamaan dengan obat
demamnya. Akupun langsung tertidur pulas.
Sekitar
pukul 10 atau 11 malam, aku tidak begitu pasti, aku dibangunkan oleh
suara berisik amben bambu, disertai suara desahan dan lenguhan halus
dari kamar sebelah. Kantukku masih sangat terasa. Aku meraba-raba
istriku tetapi tak kutemukan dia berbaring di sampingku. Aku menduga
mungkin perempuan itu sedang buang hajat di kamar mandi belakang. Di
rumah Pak Lik, kamar-kamarnya memang tidak dilengkapi lampu. Cahaya
dalam kamar cukup didapat dari imbas lampu besar di ruang tamu. Ruangan
yang berbatasan dengan ruang keluarga itu, membuat cahayanya dapat
tembus ke ruangan-ruangan lain di dalam rumahnya. Suara amben yang terus
mengganggu telingaku, ditambah suara desahan dan lenguhan yang semakin
keras, memaksaku mengintip ke celah dinding di samping kananku.
Apa
yang kemudian kulihat di sana langsung memukul diriku. Akupun menjadi
terpana dan limbung. Kepalaku yang pusing karena sakit langsung kambuh
seketika. Aku kembali terkapar dengan jantungku yang berdegup cepat.
Benarkah sepasang manusia yang sedang asyik bergumul setengah bugil itu
Pak Lik dan Dik Narti? Benarkah istriku telah tega mengkhianatiku?
Benarkah Pak Lik yang kebaikan hatinya selalu membuatku takjub
kepadanya, orang yang selalu menghiburku jika sedang sedih, orang yang
baru saja mengantarkanku ke dokter, sedang menggauli istriku saat ini?
Perempuan yang seharusnya dianggap sama dengan keponakannya juga?
Apakah
kekuranganku Dik Narti? Karena kesibukan kerja yang selalu merampas
waktuku, membuatmu merasa berhak untuk menerima kenikmatan seksual dari
orang lain? Termasuk dari pamanku sendiri? Apakah memang karena itu,
sebagaimana yang sering kamu keluhkan padaku? Ataukah Pak Lik yang sudah
4 tahun menduda yang memulainya terlebih dahulu? Dia merayumu dan
kamupun tak mampu menolaknya? Lelaki tua yang macho seperti diakah
lelaki idamanmu?
Ah,
sejuta pertanyaan yang aku tidak mampu menjawabnya karena semakin
menambah pusing kepalaku. Sementara suara berisik dari amben itu menjadi
semakin tak terkendali. Rintihan halus Dik Narti dan desahan berat Pak
Lik juga terdengar semakin jelas di telingaku. Aku tak mampu bangun
karena obat yang kuminum tadi dapat membuatku limbung kalau tidak ada
yang menolongku. Aku hanya mampu mengintip dari celah dinding itu, tak
mampu lebih jauh mencegah tindakan tak senonoh dari pasangan laknat
tersebut.
Di
sana kulihat Pak Lik sedang asyik mengayun-ayunkan kontolnya, yang
ukurannya membuatku takjub, ke lubang memek istriku. Dia melakukannya
sambil menciumi bibir Dik Narti sepenuh nafsu. Sialan! Kenapa
bisa-bisanya saat ini aku merasa takjub pada kontol pamanku sendiri?
Kepada lelaki tua yang jelas-jelas telah mengkhianati diriku dengan
menggauli istriku? Tetapi memang kuakui, kontol pamanku itu pasti akan
membuat lelaki mana saja yang melihatnya, iri....
Selain
gede, panjang dan kelihatan keras, kontol itu dihiasi dengan
urat-uratnya yang bersembulan di sekujur batangnya. Kepalanya yang
bagaikan topi helm para tentara dan bentuk batangnya yang melengkung ke
atas, membuat kontol cokelat muda itu terlihat sempurna di mataku.
Sementara
itu sambil tetap berpelukan, tangan Dik Narti terus memeluk kepala Pak
Lik. Perempuan binal itu tampaknya berusaha memastikan agar bibir-bibir
mereka tetap saling berpagutan. Saling melumat dan menghisap. Suara
kecupan saat bibir yang satu terlepas dari bibir yang lain terdengar
terus beruntun. Di bawah sana, ayunan kontol Pak Lik yang semakin dalam
menghujam memek istriku, membuat ambennya terdengar semakin berisik.
“Pak Lik, Pak Lik, enaakk Pak Lik.. teruss Pak Lik.. oocchh.. hhmm.. Pak Lik..”
Duh,
rintihan Dik Narti yang begitu menikmati derita birahinya, membuat
kepalaku seakan terpukul-pukul palu. Darah yang naik ke kepalaku,
membuat pusingku semakin menghebat. Sementara di kamar sana, desahan Pak
Lik sendiri tidak kalah hebatnya. Sebagai lelaki sehat yang telah
menduda selama 4 tahun, tentu kandungan libidonya sangat menumpuk. Bukan
tidak mungkin dialah pelakunya. Dia merayu istriku karena dia tahu aku
tidak akan mudah terbangun karena obat demam yang kutelan ini.
”Ssshhh... oohhh... oohh... enakkee, memekmu Dikkhh...” ujar Pak Lik.
”Aahh... sshhh... yaahh... terusshh... Pak... lagihhh... ooohh.. oohhh… lebihh… keraasshhh….” balas istriku.
Kulihat
buah dada istriku yang besar dan ranum, dengan pentilnya yang tegak
mengacung, sudah terbongkar dari balik kausnya. Itu pasti ulah nakal Pak
Lik sebelumnya. Dia membetotnya keluar untuk dilumati, dihisap, dan
diremas-remas. Kedua pentil susu istriku itu pastilah sudah basah kuyup
oleh lumuran ludah pamanku. Ketiak-ketiak istriku tampak sangat sensual
saat dia memegang erat kepala Pak Lik dan meremasi rambutnya.
Ketiak-ketiak itu pastilah sudah merasakan jilatan lidah pamanku, yang
sejak tadi aktif bergentayangan menebar nikmat. Kembali aku ambruk ke
ambenku.
Rasa
pusing di kepalaku sangat menyakitkan. Tanganku berusaha memijit-mijit
kepalaku sendiri untuk mengurangi rasa sakitnya. Tetapi setiap kali aku
mendengar suara erotis dari pasangan mesum itu, akupun tergoda untuk
kembali mengintip lubang dinding di sampingku.
Kulihat
kontol Pak Lik terasa semakin sesak saja menembus memek Dik Narti. Dia
tarik keluar pelan dengan dibarengi desahan beratnya dan rintihan nikmat
Dik Narti, kemudian mendorongnya masuk kembali dengan desahan yang
berulang. Dia lakukan itu berulang-ulang, desahan nikmat dari keduanya
juga terdengar berulang. Kemudian kulihat tusukan kontol Pak Lik semakin
dipercepat. Mungkin kegatalan birahi mereka terasa semakin
menjadi-jadi.
Cerita Dewasa -
Tak lama kulihat Pak Lik tidak lagi melumati bibir Dik Narti. Dia turun
dari amben dan menarik pelan pinggul istriku ke pinggiran ambennya.
Lalu dia mengangkat salah satu tungkai kaki istriku sehingga menyentuh
bahunya yang bidang. Dengan cara itu rupanya Pak Lik ingin bisa lebih
dalam menusukkan kontolnya ke memek Dik Narti. Akibatnya kenikmatan yang
tak berperi melanda istriku. Dia meremas-remas sendiri susu-susunya.
Kepalanya yang rambutnya telah acak-acakan, terus bergoyang ke kanan dan
ke kiri, menahan siksa nikmat yang tak terhingga.
Melihat
itu hatiku menjadi semakin panas. Mereka benar-benar biadab. Mereka
sudah tidak lagi memperhitungkan aku, suami sahnya dan keponakannya yang
kini berada di kamar sebelah, tengah tergeletak karena sakit yang
membuatku merasa hampir mati....
Tiba-tiba selintas pikiran hinggap di kepalaku. Oh begitu rupanya…..
Aku
jadi paham sekarang penyebab peristiwa terkutuk ini. Sebelum kami makan
malam bersama tadi, kami sempat bersalin pakaian terlebih dahulu.
Berbeda denganku yang langsung menggantikan pakaianku yang basah dengan
pakaian cadangan, istriku menyempatkan diri untuk mandi sejenak. Nah di
rumah Pak Lik, letak kamar mandi dekat dengan dapur, hanya dibatasi satu
ruangan kosong multi fungsi. Saat istriku pergi mandi, Pak Lik memang
sedang berada di dapur untuk menyiapkan makan malam. Aku pikir mungkin
inilah awal dari peristiwa itu. Istriku yang memang suka dengan Pak Lik,
sengaja mandi tanpa mengunci pintunya rapat-rapat. Tentu saja bagi
lelaki yang lama menduda seperti Pak Lik, pancingan Dik Narti itu
bagaikan rejeki nomplok. Pamanku mungkin memakai kesempatan itu untuk
mengintip istriku mandi secara leluasa.
Ketika
aku kembali mengintip, tahu-tahu keduanya sudah berganti posisi. Kali
ini pamanku sudah berbaring di atas amben kembali, sementara istriku
berada di atas tubuhnya, asyik menungganginya. Pak Lik tampak asyik
meremasi pantat Dik Narti, sementara istriku asyik bergerak naik-turun
sambil meremasi payudaranya sendiri.
Tak
lama gerakan mereka mulai berubah lagi. Keduanya bergerak semakin liar.
Masih dengan istriku menunggangi tubuhnya, pamanku bangkit dan langsung
membenamkan wajahnya di gunung kembar istriku. Di sana dia sibuk
menyusui payudara istriku bergantian, yang kanan dan yang kiri. Mendapat
serangan yang menggila itu, istriku tampak semakin histeris. Desahan
birahinya terdengar semakin keras, membuat siapapun yang mendengarnya,
menjadi sangat terangsang. Sementara di bawah sana, kontol pamanku
tampak semakin mengkilat saja. Berhiaskan lendir birahi istriku, kontol
itu keluar-masuk memek Dik Narti dengan cepatnya, membuat suara ambennya
semakin keras terdengar.
Keduanya
pun sudah bugil kini. Tiada lagi kaus putih yang membungkus tubuh
pamanku, menyajikan pemandangan yang mengagumkan dari tubuh kekar
berotot lelaki berusia setengah abad, yang mengkilat oleh keringatnya.
Begitu juga kaus tank-top hijau dan celana dalam Dik Narti yang tadi
masih tersampir di salah satu kakinya, sudah hilang entah ke mana.
Membuat lekak-lekuk di tubuh sintalnya terlihat semakin jelas. Sekarang
keduanya tampak sangat seksi dan... sangat serasi! Sesuatu yang aku
benci sekali mengakuinya!!!
Pompaan
kontol pamanku di memek istriku, suara beradunya paha dengan paha,
desahan berat Pak Lik dan rintihan nikmat tak berkeputusan Dik Narti,
membuat simfoni erotis yang terdengar sangat indah di malam yang dingin
dan sunyi ini. Kalau tadi pompaan kontol Pak Lik tampak cepat, sekarang
kulihat gerakan mengayunnya semakin diperlambat. Rupanya pamanku sedang
mempraktekkan teknik bercintanya yang baru. Sekitar tiga atau empat kali
pompaan biasa, dia membuat satu hentakan keras dan bertenaga. Tampaknya
dia berusaha membuat kontolnya lebih dalam lagi menembus memek istriku.
Begitu dia lakukan berkali-kali. Tentu saja istriku semakin histeris
dibuatnya.
Istriku
seakan tidak mau kalah dengan Pak Lik. Sambil memeluk leher pamanku
yang kokoh, dia putar-putar pinggulnya secara liar, memainkan kontol
lelaki tua yang sejak tadi aktif memompa memeknya. Desahan berat pamanku
terdengar semakin keras dan tak berkeputusan merasakan nakalnya pantat
dan pinggul Dik Narti saat memainkan ”tongkat
saktinya“. Jeleknya Dik Narti, teknik seperti itu tak pernah dia
praktekkan kepadaku saat kami bercinta. Benar-benar setan wanita itu!!!
Kusaksikan
saat ini, mereka sudah sangat lupa diri. Kenikmatan nafsu birahi telah
menghempaskan mereka ke sifat-sifat hewaniah yang tak mengenal lagi rasa
malu, sungkan, iba, hormat dan harga diri. Mereka sudah hangus terbakar
oleh nafsu birahi yang menggelora. Menjadi budak nafsu setan yang
bergentayangan di dalam diri mereka sendiri. Aku terbatuk-batuk dan
mual. Pusing kepalaku langsung menghebat. Sementara racauan penuh nikmat
yang dari mulut keduanya, terdengar tak berkeputusan dan semakin
keras.
Dengan
suara yang sengaja kukeraskan aku mengeluarkan dahakku ke ember yang
telah disediakan, disusul dengan muntah-muntah benaran. Aku berharap
dengan tindakanku itu segalanya pasti berhenti. Mereka akan bergegas
menolong diriku. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Suara amben itu
justru terdengar semakin berisik. Sehingga kini ada dua sumber berisik
di dalam rumah ini. Suara manusia yang sedang tergeletak kepayahan di
kamar ini dan suara erotis manusia, berkejar-kejaran dalam nafsu setan
di kamar itu.
Aku
tahu mereka dalam keadaan tanggung. Puncak nikmat sudah dekat dan nafsu
birahi untuk memuntahkan segalanya sudah di ubun-ubun. Mereka pasti
berpikir, biarkan saja aku menunggu di sini. Membiarkan aku sendiri
dengan gelisah, pusing, campur sakit hati akibat dikhianati. Edannya,
tak lama aku justru terpengaruh oleh mereka.
Kontolku
yang ukuran panjang dan diameternya hanya setengah dari kontol Pak Lik
telah terbangun dari tidurnya. Walaupun pusing di kepalaku masih tetap
menghebat, kontolku berdiri dengan tegangnya, terangsang oleh desahan
erotis yang sangat memukau dari kamar sebelah. Aku berusaha mati-matian
untuk meredam kontolku yang terus menegang gara-gara suara erotis itu,
sebelum akhirnya aku kembali tergoda untuk mengintip kembali. Aku ingin
tahu sejauh mana pamanku itu bisa memuaskan Dik Narti, perempuan yang
kuat sekali syahwat hewaniahnya.
Saat
kembali aku mengintip, keduanya sedang berancang-ancang untuk berubah
posisi lagi. Rupanya gairah seksual yang menggebu-gebu membuat stamina
mereka seakan tiada batasnya. Masih dengan pamanku berbaring di atas
amben, istriku segera memutar tubuhnya. Kepalanya mengarah ke
selangkangan Pak Lik, sedangkan selangkangannya dia arahkan ke kepala
pamanku. Oooo... rupanya mereka ingin saling menjilati kemaluan lawan
mainnya, posisi 69...
Kembali
desahan berat dan rintihan nikmat terdengar saling bersahutan. Wajah
Dik Narti tampak timbul tenggelam di antara selangkangan pamanku, begitu
pula sebaliknya. Dalam posisi ini mereka terlihat saling berlomba
memberikan kepuasan dalam menikmati kemaluan pasangannya. Hisapan,
jilatan dan kocokan tangan istriku di kontol pamanku beradu cepat dengan
jilatan, hisapan, dan tusukan jari-jari kekar Pak Lik di memek Dik
Narti....
Posisi
cabul yang baru itu sontak membuat hatiku tambah panas saja. Dik Narti
selalu menolak perintahku untuk mengulum kontolku dengan berbagai
alasan. Sebaliknya terhadap pamanku, dia melakukannya dengan senang
hati. Lihatlah itu... betapa intensnya dia menjalari batangan kaku dan
kekar milik pamanku dengan lidahnya... Betapa semangatnya dia
menyedot-nyedot ’helm tentara‘nya... Betapa tekunnya dia menghisap-hisap
’kantung menyan’ Pak Lik... Betapa wajahnya sangat menikmati kegiatan
cabulnya itu...
Sebaliknya
Pak Lik seakan tidak mau kalah. Dia tak hanya menjilat, menghisap dan
menusukkan jari-jarinya ke lubang memek istriku saja. Pak Lik juga turut
menjilati lubang anus istriku sambil sesekali jari-jarinya yang kasar
menusuk lubangnya. Membuat erangan nikmat keduanya, terdengar semakin
keras bersahut-sahutan. Sekali lagi aku hanya bisa merutuk dan merutuk
melihat kenyataan itu. Sungguh bangsat pasangan laknat itu!!!
Adegan
seru itu tidak berlangsung lama. Begitu dirasanya puas, mereka berganti
posisi lagi. Masih di atas amben, keduanya segera memposisikan diri.
Tak lama mereka sudah kembali bergoyang-goyang. Mereka bercinta dalam
gaya anjing di kamar itu. Hanya saja bukan lubang memek istriku lagi
yang menjadi sasaran keganasan kontol Pak Lik, melainkan lubang anus Dik
Narti...
Kulihat
Dik Narti tampak termehek-mehek. Merasakan betapa nikmatnya lubang
anusnya, dijejali kontol sebesar itu. Memang ada sedikit bayangan rasa
pedih di wajah cantiknya, tetapi perempuan binal itu justru menyemangati
Pak Lik agar lebih liar lagi dalam memompa anusnya...
”Aaahhhsss... aahhhsss.... aaahhhsss... Teeerrruussshhh... Paakkk... Eennnaaakkkhhhh...“
’’Hhhoohhhh...
hhhooohhhh... Diiikkksss.... Diikkksss... apaanyaahhh... yaanngghh...
hhhooohhh... ooohhh... Ennaaakkkhhh...?“ pancing pamanku.
“Ittuuhhh... ooohhh.... aaahhhsss... kooonnntttooolll... Paakkkhhh... Liiikkkhhhsss... Eennnaaakkhhh...“ sahut Dik Narti.
“Mmaassaaahhh
sssiiihhh caannnttiikkkhhh... Ennnaaakkkhhh... aahhh... betuuulllsss...
ennnaaakkkhhh... kontoolllsshhhkkuuu... iiinnniiihhhh?“ ujar Pak Lik
dengan terus menyodok anus istriku tanpa ampun.
“Aaahhhsss... ooohhh... aaahhhsss... bbbeeennnaaarrrkkkhhh... aaakkkhhh... aaahhh...
Eennnaaakkkhhh.... sssuumpppaaahhh...“ balas istriku dengan matanya yang merem melek keenakan.
Kuakui
lubang anusnya masih perawan, karena Dik Narti selalu menolak kalau
anusnya dientot olehku. Bangsat!!! Hanya itulah ungkapan yang pantas
mewakili kekesalan hatiku saat ini kepada Dik Narti....
Gerak
dan ayun pasangan laknat itupun sampai di puncaknya dalam posisi ini.
Begitupun ekspresi di wajah mereka. Ketampanan wajah Pak Lik dan
kecantikan wajah Dik Narti menjadi jelas terlihat. Desahan berat pamanku
bersahut-sahutan dengan erangan histeris istriku, merasakan nikmatnya
anal seks itu. Rambut Dik Narti yang indah dijadikan tali kekang oleh
tangan kanan Pak Lik. Sementara tangan kirinya, memegangi pinggul
istriku sambil aktif mengocok lubang memeknya dengan jari-jemarinya.
Sedangkan kedua tangan istriku mencengkram pinggiran amben itu dengan
erat.
”Pppaakkk… Liiikkkhhh… ooohhh… terusshhh… Paakkk… eennnaaakkk… Paaakkkk…”
”Ooohhh… Dddiiikkk… Ooohhh… ooohhhh… aaannnuuusss… mmmuuhhh… eeennnaaakkk… banggeeetttt… ”
”Ooohhh… terussshhh… aaahhh… terussshhh… Paaakkk… Leebiiihhh… Keraassshhh… Aaahhhh… Aaahhh… Laaggiiihhhh…. ”
Ketika
ejakulasi mereka akhirnya hadir, suara-suara di rumah ini benar-benar
gaduh. Aku yang muntah-muntah tanpa henti dengan suaraku seperti seekor
babi yang sedang disembelih bercampur dengan suara histeris Pak Lik
bersama Dik Narti, meraih orgasme mereka secara beruntun, diakhiri
ejakulasi yang datang hampir bersamaan. Untuk sesaat suara amben masih
terdengar berisik untuk kemudian reda dan sunyi, berganti dengan
suara-suara kecupan bibir, suara pujian saling memuja, dan suara nafas
yang tersengal-sengal. Sementara di sebelah sini aku masih mengeluarkan
suara dari batukku disertai dengan rasa mau muntah yang keluar dari
tenggorokanku.
Tak lama istriku muncul di pintu. Dipegangnya kepalaku.
’Ah, kok semakin panas mas, obatnya diminum lagi ya?’ katanya.
Kemudian
dengan kuat tangannya meringkus kepalaku dan memaksakan obat cair itu
masuk ke mulutku. Aku terlampau lemah untuk menolaknya. Saat
jari-jarinya memencet hidungku, aku yang mengalami kesulitan nafas,
terpaksa menelan habis seluruh obat yang disuapkannya ke dalam rongga
mulutku. Kemudian disuruhnya aku minum air hangat. Sebelum air itu habis
kuteguk aku sudah kembali jatuh tertidur pulas. Praktis aku tidak punya
alibi sedikitpun atas apa yang selanjutnya terjadi di rumah ini hingga 6
jam kemudian saat aku terbangun.
Jam
9 pagi esoknya aku terbangun lemah. Pertama-tama yang kulihat adalah
dinding di mana aku mengintai selingkuh istriku dengan Pak Lik. Aku
marah pada dinding itu. Kenapa begitu banyak lubangnya sehingga aku bisa
mengintip. Aku juga marah pada diriku sendiri, kenapa aku yang sakit
ini masih-masihnya tergoda untuk mengintip ke dinding itu. Menyaksikan
istriku yang sedang asyik menanggung nikmat, digojlok secara brutal oleh
pamanku. Tapi saat aku ingin teriak karena teringat peristiwa semalam,
Dik Narti muncul di pintu kamar. Pandangan matanya terasa sangat lembut
dan perhatian. Dia mendekat dan duduk di ambenku. Dia ganti kompres di
kepalaku dengan elusan tangannya yang lembut sambil berkata,
“Mas
Roso (begitu dia memanggilku) semalaman mengigau terus. Panas tubuhnya
tinggi. Aku jadi takut dan khawatir. Pak Lik bilang supaya aku ambil air
dan kain untuk mengompres kepala Mas Roso”
Mendengar
mulutnya menyebut ‘Pak Lik’ yang aku ingat betul sama persis nada dan
pengucapannya saat dia asyik bergelut dengan pamanku semalam, seketika
itu darahku mendidih. Tanganku seketika mencekal blusnya. Aku ingin
sekali menampar wajahnya yang cantik itu. Tetapi senyum teduhnya kembali
hadir di bibirnya.
“Hah,
apa lagi mas, apa lagi yang dirasakan, sayang?” ucapnya lembut tanpa
prasangka apapun atas perlakuan kasarku barusan, menatapku dengan air
mukanya yang anehnya tampak tetap suci bersih.
Langsung
didih darahku surut. Aku tak mampu melawan kelembutan sikap dan
senyumnya yang menawan itu. Kutanyakan padanya di mana Pak Lik sekarang,
dengan bola mata berbinar Dik Narti menjawab pamanku sedang berada di
sawahnya. Hari ini giliran dia untuk membuka pematang agar air sungai
mengalir ke sawahnya. Dia juga bilang agar aku banyak istirahat saja
dulu. Dia sudah menelepon orang tua di Yogya dari HPku, mengabarkan
bahwa aku sakit dan akan istirahat dulu di Redjo Legi selama 3 hari ke
depan. Rupanya demamku sangat parah sehingga aku harus dirawat di Redjo
Legi selama 3 hari penuh. Kemudian dia beranjak dan kembali dengan
sepiring bubur sum-sum, aku disuapinya.
Aku
jadi berpikir apa yang sesungguhnya terjadi tadi malam. Apakah panas
tubuhku yang sangat hebat, telah membawaku ke alam mimpi? Sampai-sampai
aku menggigau sepanjang malam sebagaimana kata istriku, ataukah
perselingkuhan Pak Lik dengan istriku itu memang benar-benar sebuah
kenyataan? Kembali kepalaku berputar-putar rasanya. Istriku kembali
mencekokiku dengan obat yang dibawanya. Akupun kembali tertidur.
Sebelum
aku terlelap benar, istriku dengan penuh kasih memeluk kepalaku. Dia
mengelus-elus kepalaku sambil mendekatkannya ke dadanya. Pada saat itu
aku merasakan semburat aroma yang lembut menerjang ke hidungku. Aroma
yang sangat kukenal, aroma ludah dan sperma lelaki yang telah mengering.
Aroma itu menguar dari payudaranya dan bagian lain tubuhnya. Obat
tidurku tak memberi kesempatan padaku untuk melek lebih lama. Aku
kembali pulas tertidur.
Selanjutnya
selama 3 hari ke depan, setiap malam aku selalu benar-benar terlelap,
sehingga tak lagi tahu apa yang sedang terjadi di antara mereka, Pak Lik
dan Dik Narti, selama sisa hari-hari itu. Saat berpamitanpun, aku tidak
melihat tanda-tanda mencurigakan itu dari wajah keduanya saat mereka
sedang berpamitan. Keduanya berpisah secara sewajarnya.
Sampai
kini, 6 bulan sesudah peristiwa itu, aku tetap tidak tahu apa yang
sesungguhnya terjadi. Apakah peristiwa mesum itu hanyalah khayalanku
belaka atau memang benar-benar terjadi? Aku tidak mempunyai alibi apapun
untuk mempertanyakan keinginan tahuku pada istriku. Juga tidak punya
keberanian untuk itu. Aku sangat khawatir akan kehilangan dirinya. Yang
mungkin bisa dan perlu aku lakukan adalah memilih jalur utara yang padat
saat pulang mudik yang akan datang. Juga seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar